Mengikuti peraturan atau mencari kekhususan sendiri

Salah satu perbedaan yang saya rasakan antara kebiasaan orang Indonesia dan Jepang mengenai cara kerja di kantor adalah, orang Indonesia lebih cenderung mengerjakan sesuatu dengan pikiran sendiri, dan kalau orang Jepang lebih cenderung mengikuti peraturan yang telah ada. Mungkin orang Jepang takut disalahkan dengan mengerjakan sendiri, sedangkan orang Indonesia mungkin perasaan tidak mau tergantung (dijajah) orang lain itu lebih kuat. Lanjutkan ke page 2.

Japanese Approach

Selama kita bekerja dengan team, atasan maupun bawahan, tentunya akan ada saat-saat dimana kita perlu melakukan pendekatan persuasif. Pendekatan ini bukan dalam pengertian negatif dimana kita mau berusaha mendapatkan approval atasan untuk suatu project yang tidak begitu penting bagi perusahaan. Tetapi pendekatan dalam pengertian positif demi kemajuan perusahaan sendiri. Pendekatan ini biasanya perlu kita lakukan karena atasan kita yang japanese belum atau kurang menyetujui penjelasan awal. Sebenarnya mereka menantikan penjelasan detail lebih lanjut atau ada sesuatu yang diharapkan oleh mereka, tetapi mungkin mereka tidak bisa mengungkapkannya, baik karena kendala bahasa, situasi atau waktu yang dianggap belum tepat.

 

Berikut ini beberapa tip yang mungkin bisa berguna apabila Anda dihadapkan pada situasi seperti diatas.

 

a.    Solidaritas kelompok

Pada saat kita mengajukan suatu kasus ke orang Jepang, pastikan bahwa apa yang kita ajukan telah kita sharing ke rekan kerja kita lainnya. Dengan kata lain, tekankan bahwa apa yang kita ajukan adalah hasil kesepakatan kelompok. Japanese lebih menghargai hasil kerja kelompok daripada individu. Japanese merasa bahwa ”semakin banyak kepala akan semakin baik idenya”. Banyak dari antara kita yang ingin ”tampil beda” atau terlihat lebih ahli dibandingkan rekan-rekan kerja lainnya. Ini malah tidak diinginkan orang jepang, karena mereka akan beranggapan sifat individu kita cukup kuat dan bisa merusak kekompakkan team. Akhirnya kita bisa kehilangan penentuan kesepakatan bersama (nemawashi).

 

b.    Pengulangan

Sebaiknya bila kita mempunyai ide bagus, ulangi ide itu beberapa kali untuk membangun minat dan dukungan rekan kerja lainnya. Jangan lupa untuk sertakan orang Jepang sesekali. Misalnya dengan mendengungkannya pada saat meeting singkat atau di sela-sela pertemuan. Japanese cenderung lebih persuasif oleh sesuatu yang dia rasa sudah didukung orang banyak. Oleh karena itu kita perlu mengulang-ulang ide kita sebelum akhirnya menjadi kesepakatan. Kalau hanya satu kali kita mengungkapkan ide, mungkin belum terlalu dipikirkan oleh mereka. Jadi jangan langsung putus asa dan tidak mau lagi mengeluarkan ide. Ini hanya masalah kepercayaan dan waktu. Tetapi perlu diingat, bahwa mengulang jangan hanya sekedar mengulang kalimat yang sama. Tapi tambahkan sesuatu yang lain setiap kali kita mengulangnya. Misalnya kali ini kita tambahkan satu keuntungan langsung bila ide itu diterapkan. Lain kali kita informasikan bahwa bagian lain bisa terbantu pekerjaannya. Dan seterusnya.

 

c.     Penelitian dan Analisa yang cukup dalam

Japanese love data. Bila kita ingin membuat suatu keputusan, mereka cenderung ingin mendapatkan informasi sebanyak mungkin. Bahkan mungkin mereka akan bertanya ”kenapa” sebanyak 5 kali. Oleh karenanya kita harus menyiapkan data dengan baik. Semakin baik dan detail data yang kita siapkan, akan semakin menarik hati mereka. Jangan lupa untuk menampilkan intisari dari data, bukan hanya kesimpulan umum.

Menghabiskan banyak waktu untuk menyiapkan bahan presentasi yang menarik mungkin tidak banyak membantu bila tidak didukung data. Lebih baik kita usahakan untuk menyediakan data daripada memoles penampilan presentasi kita. Oleh sebab ini banyak Japanese yang ekstra hati-hati bila harus menghadiri suatu presentasi oleh orang Amerika. Orang Amerika cenderung menyiapkan presentasi dengan menarik, tetapi lebih ke kulit dan kesimpulan umum, tetapi data kurang banyak.

 

d.    Rekomendasi dari orang dikenal

Bila kita mengatakan sesuatu itu bagus dan banyak dipakai di beberapa perusahaan atau oleh banyak orang, bisakah kita menyebutkannya dengan tepat siapa saja yang sudah menggunakannya? Banyak orang yang begitu percaya diri bahwa sesuatu itu bagus tanpa belum mencobanya sendiri atau hanya ”dengar-dengar” saja. Bagi Japanese, mereka akan sangat tertarik bila kita bisa menyebutkan nama-nama orang terkenal atau orang terhormat yang sudah menggunakannya. nama-nama dari perusahaan yang lebih high-level, karena semangat kompetisi di dalam Japanese cukup kuat.

Inilah kunci utama bila Anda menjadi sales dan sedang mencoba menjual produk Anda ke perusahaan atau orang Jepang. Pastikan Anda sudah membawa daftar pemakai yang berisi orang-orang terkenal dan disegani.

 

e.    Customer satisfaction

Bagi Japanese, customer is number one. Apapun yang dikatakan customer, biasanya mereka cenderung untuk menyediakannya. Apalagi kalau customer itu adalah pemimpin dibidangnya. Misalnya Toyota yang bagi mereka adalah perusahaan otomotif “mereka”. Jadi kalau memang ide yang akan kita gulirkan dapat mendukung kepuasan customer, jangan lupa untuk menyebutkannya pada awal pembicaraan kita.

Summimasen, can I speak English ?

Suatu kali saya memberikan training Horenso kepada teman-teman kerja di kantor. Di akhir training peserta diminta untuk menuliskan weak point atau kelemahan yang ada di diri kita sendiri dan apa ide perbaikan yang bisa diterapkan di pekerjaan. Saya tidak begitu kaget ketika melihat hasilnya. Cukup banyak yang mengatakan bahwa perbedaan bahasa antara Japanese dan Indonesian menjadi kendala dalam berkomunikasi dan berdiskusi mengenai pekerjaan. Beberapa mengusulkan agar perusahaan menyediakan kelas training bahasa Jepang ataupun bahasa Inggris secara regular. Ada juga yang mengusulkan kelas bahasa Indonesia untuk Japanese.

 

Saya tidak kaget mengetahui bahasa bahasa sering dijadikan penyebab dari sulitnya berkomunikasi. Hal ini tidak hanya terjadi di lingkungan kerja saya, tetapi juga di banyak perusahaan Jepang lainnya. Ini saya ketahui dari teman-teman yang bekerja di perusahaan Jepang. Biasanya kita gembira bila mempunyai Japanese yang cukup fasih berbahasa Indonesia, atau minimal Inggris. Tapi apakah selalu demikian?

 

Setelah beberapa tahun bekerja di perusahaan Jepang dan melihat prestasi teman-teman Indonesia, saya pernah terpikir bahwa alangkah lebih baik bila saya juga bisa berbahasa Jepang. Sepertinya komunikasi akan lancar dan pintu karir lebih terbuka lebar. Tetapi belajar bahasa ternyata lebih sulit dibandingkan belajar statistik, karena bukan cuma otak yang dipaksa berpikir, tetapi lidah juga harus dibiasakan melekuk-lekuk. Ini tidak mudah. Perlu usaha keras dan membiasakan diri untuk menggunakannya. Kadang saya tidak habis pikir bagaimana ada orang yang bisa berbicara dalam 4 sampai 5 bahasa dunia? Luar biasa….

 

Tetapi setelah saya bekerja lebih lama dengan berbagai Japanese, saya mencapai kesimpulan bahwa tidak diperlukan keahlian bahasa Jepang untuk bisa berkomunikasi dengan orang Jepang, karena ada bahasa Inggris yang buat orang Indonesia lebih familiar karena kita sudah mengenal KFC atau Mc. Donald sejak kecil. Betul, bahasa Inggris! Ternyata sekolah-sekolah di Jepang mengajarkan bahasa Inggris selama 3 tahun di sekolah menengah dan 3 tahun di sekolah menengah atas. Kemudian buat mereka yang melanjutkan kuliah, bahasa Inggris juga diajarkan paling tidak selama 4 tahun. Lalu kenapa kita masih sulit berbicara bahasa Inggris dengan mereka?

 

Pengajaran bahasa Inggris di sekolah Jepang lebih sebagai pelajaran analitis dan bukan teknik komunikasi. Ini yang menjadi tantangan tersendiri bagi kurikulum sekolah Jepang. Begini analoginya. Misalnya Anda diberikan raket tenis dan diajarkan untuk menggunakannya menyaring pasir dari batu kerikil. Lama-lama Anda akan mahir menggunakannya. Tiba-tiba Anda dikirim ke negara lain dimana Anda diminta untuk menahan bola dengan raket tenis tadi. Tidak hanya menahan, tetapi juga diminta mengembalikan bola dengan raket ke sisi lapangan yang lain dan begitu seterusnya. Bola bergerak sangat cepat dan sepertinya datang dari berbagai arah. Ini sama dengan perasaan orang Jepang ketika harus menggunakan bahasa Inggris. Mereka mempelajari vocabulary dan grammar bertahun-tahun, tetapi tidak melatihnya dengan native speaker. Bahkan test masuk universitas hanya menekankan pemakaian terminologi bahasa Inggris yang benar, terlepas apakah mereka bisa mengkomunikasikannya dengan tepat. Tidak heran bila kemudian Japanese merasa frustasi bila harus bekerja bersama orang yang berbicara bahasa Inggris.

 

Sering saya dengar teman-teman mengatakan, ”Si A (Japanese) sebetulnya bisa bahasa Inggris, tapi begitu diajak bicara hal-hal yang penting, dia selalu bilang kalau dia tidak mengerti.” Menjaga komunikasi tetap berlangsung, apalagi untuk hal-hal penting, memerlukan teknik komunikasi tersendiri, bahkan saat berbicara dengan orang dari bangsa sendiri. Berbicara dengan Japanese akan lebih kritikal dan membutuhkan pendekatan interpersonal dan kultural.

 

a.     Buat pendahuluan

 

Salah satu prinsip dalam Hokoku (Horenso berasal dari kata Hokoku, Renraku dan Sodan. Lihat artikel ”Horenso”) adalah TPO atau Time, Place, Organization. Artinya bila kita berkomunikasi, pastikan pada waktu yang tepat, tempat yang tepat dan kepada organisasi yang tepat. Bila kita mau membicarakan hal penting dengan Japanese, ada baiknya kita bertanya dulu, ”apakah ini waktu yang tepat?” Tidak ada orang yang suka diinterupsi meskipun dalam kondisi urgent.

Pada waktu saya berjalan-jalan di Jepang dengan beberapa teman termasuk 1 orang Japanese, kami sempat kehilangan arah. Kemudian teman Japanese saya menanyakan kepada orang Jepang yang ditemui di jalan. Kami menunggu sebentar. Saya hanya mengerti kata awal Summimasen. Kemudian mereka terlihat mengangguk-angguk dan teman saya kembali ke kelompok kami sambil menunjukkan jalan. Karena ingin tahu, saya tanyakan kepada teman saya tentang apa yang dikatakan orang itu. Teman saya bilang kita harus lurus, kemudian belok ke kiri di persimpangan. Saya tanya, ”Cuma itu?” Teman saya bingung, ”iya, kenapa?” Saya jawab sepertinya bicaranya cukup panjang dan lama. Akhirnya teman saya menjelaskan bahwa awalnya adalah pembicaraan basa basi, misalnya, ”Maaf, boleh saya bertanya sesuatu?” Setelah orang yang ditanya seperti ”menyediakan waktu”, teman saya memulai lagi, ”Kami kehilangan arah. Boleh kami bertanya jalan?” Setelah dipastikan bisa bertanya, baru teman saya mengajukan pertanyaan inti. Hhmm, jadi saya harus membuat pendahulan bila ingin membicarakan sesuatu dengan Japanese. Betul juga, karena pernah teman saya yang lain, orang Indonesia, mendapat jawaban ”I don’t speak english” dari seorang Japanese yang jelas-jelas bisa berbahasa Inggris, ketika teman saya menanyakan jalan to the point.

 

b.     Pastikan tujuan pembicaraan

Seberapa mendesaknya pun suatu masalah, pastikan bahwa tujuan pembicaraan adalah mencari solusi, bukan berdebat tentang siapa yang salah. Japanese tidak terbiasa melakukan perdebatan (friendly debate) sejak kecil. Bila pembicaraan mulai mengarah menjadi perdebatan, dia akan menutup mulut dan menghentikan komunikasi.

 

c.      Beri tanggapan positif terhadap perbedaan pendapat

Apabila ada perbedaan pendapat, pastikan untuk memberi tanggapan positif. Jangan mengatakan, ”Wah, ide ini tidak bagus. Anda tidak mempertimbangkan faktor X.” Lebih baik kita mengatakan, ”Hhmm, ide yang bagus. Bagaimana dengan faktor X ya?” Saya pikir ini adalah hal yang bagus tidak hanya untuk Japanese, tetapi siapapun akan merasa lebih dihargai pendapatnya.

 

d.     Mendengarkan dengan aktif

Bila lawan bicara kita sedang berbicara, pastikan kita mendengarkan dan menyimaknya. Pastikan teman Japanese kita tetap melanjutkan pembicaraan. Bila terlihat ada keraguan, coba katakan, ”ya, ya… terus bagimana?” atau kalimat lain yang sejenis atau minimal mengganggukkan kepala sambil tetap menjaga kontak mata. Dalam pembicaraan gaya jepang, baik pembicara maupun pendengar harus aktif. Pendengar dapat mengeluarkan kata-kata atau bahasa tubuh yang menunjukkan bahwa dia mendengarkan. Dalam bahasa Jepang ini disebut ”aizuchi”.

 

So, are you ready to success without Japanese language? Mempelajari teknik-teknik komunikasi tertentu selama kita bekerja di perusahaan Jepang dapat membuat perbedaan dalam berkomunikasi yang efektif dengan Japanese, tanpa kita harus mempelajari banyak bahasa Jepang. Cukup gunakan beberapa kata-kata pembuka atau penekan. Summimasen, can I speak with you? Wakaru, arigato gozaimasu.

Pengakuan Prestasi untuk meningkatkan motivasi

Japan Management Style Series

 

Pada waktu saya duduk di bangku sekolah menengah pertama, setiap habis pembagian rapot catur wulan, sekolah kami memberikan beberapa hari libur. Kemudian pada hari pertama sekolah dimulai kembali, ada upacara kenaikan bendera. Di tengah upacara itu Kepala Sekolah mengumumkan pelajar dengan prestasi terbaik.  Biasanya kami memakai istilah barat, yaitu ranking atau peringkat. Pelajar dengan ranking 1 sampai 3 di setiap level diumumkan. Kemudian pelajar terbaik untuk tingkat sekolah juga diumumkan. Nama saya pernah disebut meski bukan juara umum. Ada rasa bangga atas keberhasilan kerja keras saya selama ini. Belum lagi ucapan selamat dari teman-teman sesudahnya. Sebentuk pengakuan sederhana, meski tanpa pesta dan kado, tetapi cukup membuat dagu terangkat beberapa saat.

 

Saya tidak tahu apakah sekolah zaman sekarang masih menggunakan metode yang sama. Yang saya tahu di dunia kerja, metode sejenis ini masih digunakan oleh beberapa perusahaan. Misalnya di suatu hotel saya pernah melihat ada foto seorang karyawan hotel dipasang di lobby dengan tulisan singkat di bawahnya, ”employee of the year”.  Di beberapa perusahaan juga ada yang melakukan hal sama. Sebentuk pengakuan untuk memotivasi semangat kerja karyawan, tidak hanya bagi mereka yang mendapakan penghargaan, tetapi lebih untuk memicu karyawan lain agar lebih berprestasi.

 

Tetapi jangan mengharapkan metode ini dilakukan di perusahaan Jepang. Seorang Japanese akan merasa tidak nyaman apabila dirinya diberi ucapan selamat atau diumumkan keberhasilan prestasinya di muka umum, meskipun dalam lingkungan kerjanya sendiri. Pengakuan ini bisa menimbulkan keretakan dalam team Japanese, takut membuat anggota team lain tersinggung. Usaha untuk memotivasi malah bisa menjadi demotivasi karena tidak sesuai dengan budaya mereka. Karena itu mereka juga berpikir takut untuk melakukannya terhadap orang Indonesia.

 

Japanese lebih menyukai pengakuan personal daripada pengakuan terbuka. Jadi orang Jepang akan memberitahukan kepada seseorang secara personal bahwa dia telah melakukan pekerjaan dengan baik. Kalimat yang digunakan pun tidak perlu berlebihan atau fantastik seperti yang biasa dipakai orang Amerika. Mengajarkan seseorang terhadap suatu hal baru juga bisa diartikan bahwa atasan tertarik akan perkembangannya dan mau membantunya. Undangan untuk menghadiri meeting penting, diikutsertakan dalam project besar atau menempatkan seseorang dalam pekerjaan yang lebih menantang dan menarik juga menunjukkan bahwa atasan Japanese menyukai hasil pekerjaan kita. Sekedar undangan makan bersama juga bisa berarti penghargaan. Kuncinya adalah menunjukkan bahwa kita mengetahui apa yang dilakukan seseorang.

 

Orang Jepang lebih termotivasi dalam kerja kelompok. Penghargaan terhadap kelompok lebih disukai, misalnya kegiatan sosial team, atau yang lebih menyentuh, misalnya membuat kaos atau pin untuk team khusus. Orang Jepang juga lebih termotivasi apabila ditempatkan dalam kelompok kerja yang lebih bergensi, misalnya proyek dengan customer utama.

 

Karyawan Japanese merasa nyaman dan termotivasi apabila perusahaan tempatnya bekerja juga melakukan sesuatu untuk masyarakat sekitar, daripada hanya menambah profit atau laba pemegang saham. Orang Jepang lebih menyukai kestabilan dalam pekerjaan. Mereka konsisten dalam melakukan pekerjaan rutin yang berulang. Di situlah justru kekurangan kita yang kadang tidak konsisten. Konsistensi, kestabilan dan penghargaan personal akan membuat mereka nyaman dalam bekerja dan dapat memberikan kontribusi optimal.

MINARAI (Belajar dengan mengamati)

Japan Management Style Series

 

Saya pernah begitu jengkel dengan bos Jepang saya karena hasil pekerjaan saya harus diperbaiki hampir 50% nya hanya untuk masalah bahasa yang dianggap kurang halus, dan sebagian besar karena bentuk tulisan atau ketebalan garis pada tabel. Sungguh menjengkelkan, padahal dia tahu bahwa laporan ini harus segera dikirim ke customer di Jepang. Saya pikir, apa tidak ada pekerjaan lain yang lebih luas lingkupnya atau yang lebih menunjukkan tanggung jawabnya sebagai direktur, sehingga dia mempunyai cukup waktu untuk mengoreksi hampir seluruh pekerjaan anak buahnya. Saya tahu bos saya ini sering masuk di hari Sabtu atau melanjutkan membaca email di apartemennya sampai larut malam. Tapi saya kan bukan dia….! Pekerjaan saya bukan cuma satu macam dan bukan tidak bertumpuk!!

 

Ternyata bukan cuma saya yang sering jengkel. Teman-teman saya juga menemui masalah yang sama. Buka hanya rekan kerja sekantor, tetapi juga teman-teman di perusahaan-perusahaan Jepang lainnya. Usut punya usut, ternyata beginilah budaya Jepang. Bang!

 

Perbedaan kultur ini ternyata cukup mengagetkan tidak hanya orang Indonesia yang bekerja di perusahaan Jepang, tetapi juga bagi orang Amerika yang bekerja di perusahaan Jepang. Bagi orang Amerika sungguh aneh mempunyai seorang bos yang membuat banyak perubahaan terhadap pekerjaan sesorang. Itu seperti mengerecoki, dan setelah direvisi sudah tidak menunjukkan ciri pekerjaan seseorang lagi.

 

Tetapi Japanese melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda. Mereka tidak melihat bahwa pekerjaan seseorang sebagai hasil karya sesorang yang pada akhirnya mencerminkan performance seseorang. Sebaliknya, apapun yang dikerjakan seseorang adalah hasil karya sebuah kerja tim (work group). Oleh karena itu, sebagai bagian dari grup, bos boleh mengoreksi pekerjaan bawahannya. Di Jepang, seorang staf tidak akan menganggap bahwa bos terlalu mencampuri, tetapi sebagai media untuk belajar. Jadi sense terhadap hasil suatu pekerjaan tidak sama.

 

Japanese menganggap koreksi pekerjaan anak buah sebagai bagian dari training. Di Jepang, training seringkali dilakukan melalui proses yang disebut  M I N A R A I , yaitu belajar dengan mengamati (learning by watching). Atasan atau orang yang sudah ahli menunjukkan bagaimana sesuatu harus dilakukan, dan murid atau staf mengamati dan menirunya. Atasan dapat mengoreksi hasil kerja staf. Staf diharapkan tidak hanya langsung memperbaiki sesuai hasil koreksi, tetapi juga mempelajari koreksian agar tidak terulang di kemudian hari. Dengan kata lain, jika saat ini kita melakukan kesalahan, lain kali kita diharapkan sudah mengerti dan tidak mengulanginya.

 

Hal ini juga tercermin dalam tata letak di kantor-kantor perusahaan Jepang. Biasanya meja-meja kerja untuk work group sejenis diletakkan berdekatan tanpa ada penyekat atau dinding penghalang. Tujuannya agar bos mudah memanggil dan menanyakan sesuatu pada staf nya. Japanese menyebutkan ini sebagai HORENSO dan mereka akan merasa tidak nyaman bila harus bekerja bersama orang Amerika yang tidak mengikuti gayanya. Horenso adalah akronim dalam bahasa Jepang yang terdiri dari Hokoku (pelaporan), Renraku (kontak atau informasi) dan Sodan (konsultasi). Jadi, jangan heran bila seorang Japanese manager mengatakan ”Why don’t my staff come to me and let me see their work, how they are doing and if they have any questions? I feel black if they don’t involve me in every project they are doing.”

Apology as Kaizen Mind

Japan Management Style Series

 

Apa yang Anda katakan pada atasan Anda apabila Anda tiba di tempat kerja terlambat? Mungkin sebagian besar dari kita akan mengatakan, “Maaf Pak, saya terlambat, soalnya ………. ” Titik-titik di kalimat ini bisa diisi dengan ”bisnya mogok”, atau ”ada truk terguling di badan jalan”, atau ”jalannya macet” dan sebagainya. Sangat tipikal orang Indonesia. Ada sesuatu yang melatarbelakangi keterlambatan kita. Keterlambatan ini bukan kesalahan saya 100%!

 

Excuse, Blaming Others

 

Dalam budaya Jepang, kalimat-kalimat diatas sangat tidak disukai. Bukan suatu ide yang baik untuk mencoba menjelaskan suatu masalah dengan mengatakan bahwa itu bukan kesalahan kita, dan selanjutnya bukan tanggung jawab kita. Orang Jepang akan melihatnya sebagai EXCUSE, bukan penjelasan. Misalnya bila kita telat menghadiri meeting, mungkin kita akan mengatakan ”Maaf, saya terlambat, karena lalu lintas hari ini sangat buruk.” Rekan kerja atau atasan kita yang orang Indonesia (juga orang Amerika pada umumnya) akan melihat itu sebagai alasan yang cukup masuk akal. Tetapi bos Jepang atau customer Jepang kita akan melihatnya sebagai excuse. Buat mereka, akan lebih baik kalau kita mengatakan, ”Maaf, saya terlambat. Saya tidak meninggalkan kantor sesegera mungkin supaya tidak terlambat tiba di sini.” Kata-kata ini menunjukkan itikad baik bahwa kita mengetahui kesalahan kita dan semoga lain kali tidak terulang.

 

Pada contoh tadi kita melimpahkan kesalahan pada kondisi lalu lintas. Kadangkala tanpa sadar ataupun sengaja, kita melimpahkan kesalahan pada seseorang. Misalnya, “Maaf, saya terlambat, karena tadi bos saya mengajak diskusi dulu.” Ini akan lebih buruk di mata Japanese. Seakan-akan kita tidak mau bertanggung jawab sama sekali.

 

Hal ini akan lebih buruk lagi bila yang disalahkan adalah customer kita. Misalnya, ”Wah, peta yang Anda berikan tidak jelas, jadi saya sempat nyasar…!” Bagi Japanese apalagi Japanese customer, ini menunjukkan penolakan untuk mengakui kesalahan atau sikap mempertahankan diri. Di Jepang, supplier harus selalu menunjukkan kerja keras demi memenuhi permintaan customer.

 

Minta maaf

 

Permintaan maaf yang tulus adalah suatu teknik untuk memberikan servis yang terbaik. Di Amerika sendiri, permintaan maaf sering diartikan sebagai suatu kewajiban atas suatu kesalahan. Dalam budaya Jepang, permintaan maaf mencerminkan niat tulus untuk memperbaiki kesalahan di kemudian hari. Ini seperti ”kaizen terhadap mental” atau ”kaizen mind”. Permintaan maaf bisa menjernihkan suasana kaku atau tegang, dan pada akhirnya setiap orang akan mencoba melupakannya. Di Jepang, permintaan maaf seperti pelumas dalam hubungan sosial bermasyarakat. Bahkan kita dapat menggunakan permintaan maaf bila berurusan dengan pemerintahan Jepang, dan mereka akan dengan senang hati membantu kita.

 

Jadi bagaimana dengan kita? Bila Anda ingin berkarir di perusahaan Jepang atau minimal mendapatkan kesan baik dari customer Jepang Anda, mulailah meminta maaf atas setiap kesalahan atau keterlambatan sekecil apapun. Siapapun atau apapun yang ada di belakang problem, bukan masalah yang harus dijelaskan. Bagi Japanese, yang terpenting adalah pengakuan akan kesalahan dan niat untuk memperbaiki. Kaizen forever. Bila kita kesulitan untuk memulainya, paling tidak kita bisa mencoba mengatakan, ”I’m really sorry this happended.”